Pembentukan Kepribadian

Kepribadian seseorang selain dibentuk oleh faktor dalam (pembawaan), tetapi juga faktor dari luar (lingkungan). Namun pada dasarnya kepribadian itu merupakan gambaran sikap dan peri laku manusia secara umum yang tercermin dari ucapan dan perbuatannya.
Berikut ini akan diuraikan tentang pengertian kepribadian dan proses pembentukan kepribadian seseorang.

a.  Arti kepribadian
Secara umum kepribadian adalah semua corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Corak kebiasaan itu merupakan kesatuan fungsional yang khas pada diri seseorang. Perkembangan kepribadian itu bersifat khas, unik dan dinamis. Artinya, selama individu masih tetap hidup, belajar dan bertambah pengetahuan, pengalaman serta keterampilannya maka ia akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.

Allport (seorang ahli Psikologi) menyebutkan, kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari system psikofisik yang unik (khas) pada diri individu yang turut menentukan cara-cara penyesuaian diri dengan lingkungannya.

Sigmund Freud (sarjana Psikologi Jerman), menyebutkan bahwa kepribadian (jiwa) dibentuk oleh tiga kekuatan, yaitu id (each), super ego (uber ich), dan ego (ich).

Id (nafsu/keinginan) berisi dorongan-dorongan primitif yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau hasil belajar, seperti dorongan seks, amarah, agresi dan yang bersifat traumatic. Id ini berada di alam ketidak sadaran, sehinggan kemunculannya sukar untuk dikendalikan.

Superego (akal sehat) berisikan dorongan-dorongan untuk berbuat baik sebagai hasil belajar terhadap kebudayaan. Superego ini sebagai filter yang menyaring dan mengawasi dorongan-dorongan yang berasal dari id.

Adapun ego (perilaku tindakan) adalah system energi yang langsung berhubungan dengan dunia luar. Apabial ego lemah sehingga dikuasai oleh id maka individu itu akan mengalami psikopati, artinya terlalu dikuasai oleh dorongan promitif sehingga sering melanggar norma/aturan. Sebaliknya jika ego dapat dikuasai oleh superego maka individu itu akan mengalami neurusis, artinya tidak dapat menyalurkan dorongan primitifnya sehinggan hidupnya tertekan.

Dari uarian diatas dapat disimpulkan, bahwa kepribadian seseorang akan menjadi baik dan mantap apabila terdapat sinergi/kerja sama yang baik antara id (nafsu/keinginan), ego (perilaku/tindakan), dan superego (akal sehat).

b.  Proses pembentukan kepribadian

Kepribadian itu selalu berubah dan berkembang dari waktu kewaktu sejalan dengan fase-fase perkembangan kehidupan manusianya. Berikut ini akan diuraikan tentang proses pembentukan kepribadian seseorang.

Manusia selain makhluk individu juga makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai kekhasan atau keunikan tersendiri yang berbeda dengan individu-individu lainnya, baik menyangkut bakat, minat, intelegensi, maupun sifat-sifat kemauan dan perasaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dan bergaul dengan manusia-manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dab mempertahankan hidupnya di muka bumi. Kebutuhan sosial itu antara lain sosialisasi, komunikasi, interaksi sosial, organisasi sosial, dan sebagainya.

Pada mulanya individu melakukan proses sosialisasi terhadap lingkungan keluarganya. Hal-hal yang diperoleh di lingkungan keluarga akan dipelajari, dihayati, dan dipatuhinya. Sikap dan perilaku orang tua dan saudara-saudaranya akan dipelajarinya. Nilai dan norma yang diterapkan oleh orang tua akan ditanamkan dalam dirinya. Setelah agak besar ia mulai bergaul dengan teman-teman sebayanya. Ia mulai mengerti bahwa di dalam sekelompok permainan terdapat sejumlah nilai dan norma tertentu yang harus dipatuhinya.

Pada usia sekolah ia menemukan nilai dan norma baru yang berlaku di sekolah. Selanjutnya mulai mnegakui bahwa ia mempunyai peranan dan status dalam berhubungan sosial. Kelompok itu tidak hanya memberi kesempatan untuk memperoleh sesuatu bagi dirinya, akan tetapi juga memerlukan sumbangan pikirannya. Anak itu mulai belajar mengembangkan kecakapannya untuk memberikan sumbangan terhadap kelompoknya. Ternyata ia harus mengekang keinginan dan perasaannya demi kepentingan kelompoknya.

Dalam perkembangan selanjutnya, anak itu semakin tahu dan menyadari akan pentingnya menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakatnya. Ia berusaha berinteraksi dan berkomunikasi sosial yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Dari pengalaman tersebut, ia mengetahui bahwa pelanggaran terhadap nilai dan norma sosial akan menimbulkan penderitaan, karena akan dimarahi olah orang lain, atau dikucilkan oleh teman-temannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa manusia tidak akan sanggup hidup seorang diri tanpa lingkungan psikis atau rohaniahnya, walaupun secara biologis-fisiologis mungkin saja dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif. Hati nurani dan cita-cita pribadi tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa pergaulan dengan manusia-manusia lainnya. Tanpa pergaulan sosial, pribadi manusia tidak akan dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya atau manusia yang beradab. Dalam proses sosialisasi inilah manusia dapat merealisasikan segala potensinya dalam kehidupan masyarakat.

Dari uraian diatas, jelaslah bhwa kepribadian seseorang itu terbentuk sebagai hasil proses sosialisasi nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam berhubungan sosial dengan lingkungan masyarakatnya.

Menurut aliran konvergensi, kepribadian (jiwa atau perilaku) merupakan hasil perpaduan antara pembawaan (faktor internal) dengan pengalaman (faktor eksternal). Faktor internal atau pembawaan bersumber dari dalam diri individu yang bersangkutan, seperti kecerdasan, bakat, minat, kemauan, dan sebagainya. Faktor eksternal atau pengalaman bersumberdari hasil pergaulan, pendidikan, agama, dan pengaruh nilai-nilai dan norma sosial. Pelopor aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1938) seorang tokoh Psikologi berkebangsaan Jerman.

Selain aliran konvergensi terdapat pula aliran nativisme dan empirisme. Menurut aliran nativisme, bahwa yang menentukan kepribadian seseorang adalah faktor pembawaan. Sedangkan aliran empirisme menegaskan bahwa yang menentukan kepribadian manusia adalah faktor pengalaman atau lingkungan hidupnya. Namun demikian ahli-ahli psikologi lainnya lebih cenderung sependapat dengan aliran konvergensi (yang merupakan perpaduan antara aliran nativisme dan empirisme).

Dari uraian diatas, jelas bahwa pengaruh lingkungan sangat kuat terhadap proses pembentukan kepribadian. Dan didasari oleh pemikiran tersebut, Jung menggolongkan tipe-tipe kepribadian ke dalam bermacam-macam tipe berdasrkan fungsi dan reaksinya.

Berdasarkan fungsinya, terdapat empat tipe kepribadian, yaitu:

a) Kepribadian rasional, adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh akal sehat.
b) Kepribadian intuitif, yaitu kepribadian yang dipengaruhi oleh firasat atau perasaan kira-kira.
c) Kepribadian, emosional, yaitu kepribadian yang dipengaruhi oleh perasaan.
d) Kepribadian sensitive, yaitu kepribadian yang dipengaruhi oleh kekuatan panca indera sehingga cepat bereaksi.

Berdasarkan reaksinya terhadap lingkungan, terdapat tiga tipe kepribadian, yaitu:

a) Kepribadian ekstrovet, yaitu kepribadian yang bersifat terbuka, berorientasi ke dunia luar, sehingga sifatnya ramah, senang bergaul, dan mudah menyesuaikan diri.
b) Kepribadian introvet, yaitu kepribadian yang bersifat tertutup dan berorientasi kepada diri sendiri, sehingga sifatnya pendiam, jarang bergaul, suka menyendiri, dan sukar menyesuaiakan diri.
c) Kepribadian ambivert, yaitu kepribadian campuran yang tidak dapat digolongkan ke dalam kedua tipe tersebut diatas oleh karena sifatnya bervariasi.

Popular posts from this blog

Istilah-Istilah Dalam Bertelepon

Teori Marketing Perhotelan

Strategi Dan Perencanaan Pemasaran